Tuesday, July 30, 2013

Saturday, July 20, 2013

The Japanese Occupation Period Begins



After delaying for quite some time, finally, yesterday, July 19th, with the list of the newspapers during those period that I made several months back, I start to dig the microfilm at the national library with the news around those period of time.

The first headline of Asia Raja (Asia Raya as it pronounced today) newspaper, April 29th 1942, was Tenno Haika Banzai! The picture of Emperor Hirohito on top of his white horse was the picture of the front page, accompanied the headline. The editorial staffs were mixed of the Japanese propagandist as well as the natives. Most of the native editorial staffs of this propaganda newspaper came from the staffs of Parindra daily publication, Berita Oemoem. Even the layout of Asia Raja has reminded me with the layout of Berita Oemoem. Inside, there is also an introduction of the Japanese language as well as alphabet and how it is being pronounced. It is to be found everyday in one of the pages inside.

- Posted using BlogPress from my iPhone

Wednesday, March 21, 2012

PDD: Ringkasan Sampul Buku

Hanya dalam 7 tahun, dunia dan tanah Nusantara begitu cepat berubah. Roda berputar menjadikan sang majikan menjadi yang dikejar-kejar. Sesuatu yang jinak, tiba-tiba berubah menjadi beringas dan memangsa apa yang telah didendamnya selama ini.

Roman 'Perempuan di Djagamonjet' adalah sebuah perjalanan individu-individu kecil pada sebuah jaman transisi, mulai dari akhir masa kolonial Hindia Belanda, penyerbuan Jepang, sampai masa 'bersiap' pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Lewat kacamata para individu ini, terlintas bermacam cita-cita yang menerjemahkan arti kemerdekaan yang sesungguhnya.

Tuesday, March 20, 2012

Judul: Perempuan di Djagamonjet

Pemilihan judul 'Perempuan di Djagamonjet' sudah berkutat di pemikiran jauh sebelum saya memulai halaman blog ini. Kalau dibaca, judul ini berkesan mudah dan lugu. Perempuan, karena novel ini akan berbicara tentang perempuan yang menjadi karakter utama. Sementara Djagamonjet adalah nama satu tempat di Jakarta (Batavia ketika nama Djagamonjet mulai dikenal), tepat di ujung Molenvliet (sekarang Jl. Gajah Mada).

Seperti nama-nama lainnya di Jakarta atau dimana saja, sebuah nama bisa saja diambil karena penduduk sekitar menamainya demikian. Di Jakarta ada Muara Angke. Nama ini diambil ketika selesai pemberontakan orang Cina di Batavia pada abad 18, serdadu kompeni membuang mayat-mayat orang Cina ke sungai di pinggiran kota yang menyebabkan sungai-sungai berwarna merah dan bau anyir. Akhirnya, dari kata bangke (karena banyak bangkai orang Cina yang dibuang), akhirnya kita mengenal nama itu dengan Muara Angke. Sementara itu, julukan Chinatown yang ada di setiap kota-kota besar di dunia, hadir karena tempat itulah para orang Cina menetap, berinteraksi, membangun komunitas juga pasarnya.

Nama Djagamonjet juga berasal dari julukan orang-orang di sekitarnya. Pada penghujung abad 17, saat itu batas selatan Kota Batavia hanyalah sampai dimana yang sekarang adalah Jl. Gajah Mada & Jl. Surjopranoto. Di setiap batas kota, terdapat pos-pos penjagaan atau benteng keamanan guna menjaga penduduk yang berada di dalam kota. Benteng bagian selatan ini dikenal dengan nama Benteng Rijswijk. Sementara itu, selatan dari benteng masihlah dipenuhi pohon-pohon besar dan hewan buas seperti macan, harimau maupun monyet. Bagi serdadu yang mendapat giliran jaga pada menara di benteng Rijswijk, penduduk asli mencap serdadu tersebut sedang menjaga monyet, karena minimnya aktifitas di daerah tersebut selain monyet-monyet yang berseliweran.

Perempuan di Djagamonjet (PDD) kalau diterjemahkan dalam bahasa asing, Inggris contohnya, menjadi 'Woman in Djagamonjet'. Tetapi ketika judul novel dilafalkan kembali dalam Bahasa Indonesia, bisa terdengar seperti menjadi Dijaga Monyet (guarded by monkey), dan menjadi arti yang berbeda. Makna tersirat dari judul ini memang dikhususkan bagi yang mengerti Bahasa Indonesia, karena dengan bahasa asing susunan bahasanya akan berbeda. Inilah mengapa pemilihan judul ini begitu kuat di benak saya. Tersirat kalau perempuan ini, ditengah-tengah dunia laki-laki yang sedang bergejolak, berjalan pada titian nasib akan sebuah keingingan yang dikepung dengan pemikiran-pemikiran hewani gerombolan manusia yang tidak lebih bagaikan sebuah monyet.

Perempuan di Djagamonjet menelusuri perjalanan waktu akan transisi sebuah bangsa. Tentunya, akan menjadi panjang kalau perkataan dari bangsa kita ulas di sini...:)

Jakarta, 20 Maret 2012